(Serial Kehadiranmu Membawaku Pada-Nya)

#Edisi 1

Maafkan Aku

Sore ini aku begitu sumringah. Bahagia rasanya. Berjalan kaki tak merasa lelah sedikitpun walau harus menempuh jarak yang cukup jauh. Memang begitu kata orang. Segala sesuatu akan terasa indah jika kita sedang bahagia. Hal yang biasanya berat untuk dilakukan seakan-akan menjadi mudah bahkan entah kenapa ketika kita diminta untuk melakukannya kembali seakan tak mungkin kita menolaknya. Ya, hari ini aku baru saja dari gedung rektorat. Aku baru saja mendapat hasil akan pencapaianku selama satu semester. Senang, bangga, dan puas. Apalagi yang harus aku sebutkan untuk menggambarkan kebahagiaanku. Sesuatu yang tak boleh terlupakan adalah senantiasa rendah hati. Ya, hari ini IPK seluruh mahasiswa telah keluar. Luar biasa memang. Ini adalah kali keenam secara beruntun aku mendapatkan IP sempurna. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata memang mendapatkan pencapaian terbaik di jurusan cukup menjadi favorit. Ya, Aku adalah mahasiswa teknik arsitektur di salah satu universitas terbaik negeri ini. Universitas terbaik di kota yang khas dengan lambang ikan dan buayanya. Ingin segera ku kabarkan berita baik ini kepada abah dan umi di rumah. Ahh tapi jangan terburu-buru dan terlalu senang. Sebuah kebahagiaan tak boleh diungkapkan terlalu berlebihan. Ingatlah kehidupan kerap dianggap seperti roda yang berputar. Hari ini kita bahagia namun besok mungkin biasa saja bahkan merana. Naudzubillah. Hal yang terpenting adalah senantiasa bersyukur dan yakin pada-Nya. Yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah yang terbaik menurut-Nya. Kita hanya hamba yang lemah sebatas mampu berusaha
Allahu Akbar... Allahu Akbar
Allahu Akbar... Allahu Akbar
Asyhaduan laa ilaaha illallah
.............................................

Tak terasa waktu ashar telah tiba. Rasa bahagia tidak boleh melupakanku pada-Nya. Semua yang ku terima pun adalah anugerahnya bukan karena usaha kerasku yang tak kenal lelah. Kebetulan adzan ashar telah berkumandang. Memang tadi aku pun berniat menuju ke masjid. Memang jarak gedung rektorat agak jauh dari masjd. Namun seperti ku katakan bahagia membuatku tak merasa lelah seperti biasanya walau harus berjalan jauh.

Setibaku di masjid aku segera memperbarui wudhu dan langsung melaksanakan shalat sunnah qabliah. Memang sebenarnya aku sudah punya wudhu. Namun apa salahnya memperbarui. Teringat nasehat guruku enam tahun lalu. “Fahmi, senantiasalah menjaga wudhu ya Nak dalam situasi apapun. Jika Kau sadar punya wudhu maka Kau akan sadar untuk selalu menjaga dirimu”. Alhamdulillah berkat nasehat itu hingga saat ini aku selalu berusaha menjaga wudhu. Waktu iqomah tinggal 50 detik lagi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak tampak kawan-kawanku yang merupakan para imam masjid. Ya, kami tergabung dalam organisasi jamaah masjid kampus. Organisasi yang menaungi seluruh mahasiswa muslim di kampus. Ada tujuh mahasiswa pilihan yang diberi kehormatan menjadi imam masjid bersama ustadz-ustadz kampus. Qadarullah aku ditakdirkan menjadi salahsatunya. Kesempatan besar yang bisa menjadi pembelajaran terbaik sebagai bekal sebelum kelak aku terjun di masyarakat yang sesungguhnya. Tak hanya itu di tahun ketiga kuliahku aku terpilih menjadi ketua jamaah masjid kampus. Anugerah-Nya yang dikemas dalam sebuah amanat yang berat. Waktu iqomah telah tiba. Tampak Ustadz Yahya berada di shaf terdepan Aku pun langsung berdiri di sebelahnya. “Masya Allah Al Hafidz... Antum aja yang maju gih”, kata ustadz Yahya sembari memegang pundakku seakan mempersilahkan. “Ustadz aja”, jawabku. “Antum aja lah. Hafidz muda masih seger”, sahutnya dihiasi dengan senyuman. Ya, begitulah ustadz Yahya. Beliau adalah lulusan S3 Daarul Hadits, Maroko. Ustadz yang menguasai sepulu riwayat qiraat, hafal ratusan hadits, dan hafal serta memahami Al Qur’an tentunya. Begitulah dia selalu memanggilku dengan panggilah hafidz walau sebenarnya merasa tak pantas aku dipanggil demikian. Apalah aku ini yang hanya sok-sok-an menjaga kalamnya. Namun bagaimapun Allah telah memberiku kesempatan untuk menyelesaikannya. Tak apalah mungkin aku hanya seorang hamba yang sok-sok-an tapi Aku senantiasa berusaha menjadi penjaga yang sesungguhnya. Akhirnya aku lah yang menjadi imam shalat Ashar sore ini. Setelah shalat ashar aku sebagai imam mempersilahkan ustadz Yahya untuk memimpin doa. Kali ini ustadz Yahya tak bisa menolak karena Aku yang memaksanya

Satu persatu jamaah meninggalkan masjid setelah berdoa. Seperti biasa aku selalu menyempatkan waktu duduk sejenak di selasar kanan masjid. Ya, setiap hari aku selalu melakukannya dalam menjaga amanat yang diberikan-Nya padaku. Tak seperti biasa kini aku hanya sendirian duduk di selasar masjid ini. Teman-teman seperjuanganku dalam berusaha dekat pada kalam-Nya tak terlihat hari ini. Mungkin mereka sedang di luar kampus. Begitupun ustadz Yahya. Hari ini aku terpaksa tak bisa memintanya untuk mendengarkan bacaanku karena beliau terpaksa harus pergi keluar kota karena beliau harus menyambut kedatangan syaikh besar yang merupakan imam masjidil haram. Ya, pekan ini indonesia kedatangan Syaikh Abdurrahman As Sudais. Syaikh yang bacaannya kerap kita dengar dalam lantunan rekaman murattal Al Qur’an. Luar biasa memang. Syaikh besar itu datang ke Indonesia dalam rangka menghadiri wisuda tahfidz Al Qur’an nasional di ibukota. Sayang tak sekalipun terdapat jadwal kehadiran beliau di kota universitasku. Mungkin ini belum rezekiku untuk bertemu beliau. Namun aku berdoa kelak bisa mendengar bacaannya secara langsung di tanah suci.

Hari ini aku harus mengejar target. Murajaah dua juz Al Qur’an dalam sekali duduk menginget lusa sudah masuk bulan Ramadhan. Aku harus menghatamkan Al Qur’an sebelum Ramadhan tiba. Aku pun harus bekerja keras dua kali lipat untuk mencapainya. Berat memang. Namun begitu indah bisa semakin dekat dengan-Nya melalui kalam-Nya. Sore ini aku mengulang juz 19 dan 20. Dalam juz 18 tepatnya terdapat surah Asy Syu’ara. Surah yang di dalamnya berisi kisah para nabi dan rasul terdahulu beserta kaumnya. Kebanyakan kaum yang dilaknat oleh Allah karena perbuatan mereka. Sebuah kisah yang menjadi pelajaran bagi umat akhir zaman untuk selalu ingat pada-Nya

Aku berhenti murajaah pada surah Al Ankabut tepat pada perbatasan juz setelahnya. Aku masukkan Al Qur’an yang sejak dulu menemaniku dalam berusaha menjaga amanat-Nya. “Wannajmi idzaa hawaa... Maa dhalla shahibukum wa maa ghawaa... Wa maa yantiqu ‘anil hawaa...”. Sepintas terdengar olehku potongan surah An Najm yang tengah dilantunkan oleh seseorang. Aku bergegas menuju parkiran motor untuk langsung menuju ke kos-kosan. Ahh aku lupa. Terlalu senangnya aku hari ini sampai meletakkan sandal di selasar kanan masjid bagian belakang. Padahal itu lah tempat mahasiswi meletakkan sandal. Namun apa boleh buat daripada aku harus menunggu lama padahal aku harus segera pulang. Terpaksa aku menuju ke sana untuk mengambil sandalku. Canggung memang, tapi ya sudahlah. Tak sengaja sepintas aku melihat perempuan yang masih melantunkan surah An Najm. Bersegera ku ambil tasku dan menuju ke motor.
***

Setibanya di kos aku langsung merebahkan badan di atas kasur. “Ahh apa si yang ada dipikiranku? Apalagi ini ya Allah”, tanyaku pada diriku sendiri. Mungkin ini saatnya aku harus jujur pada diriku sendiri. Sulit memang mengungkapkan segala yang ku rasa saat ini. Ya begitulah seorang pemuda. Jujur aku terpikir dengan seseoang yang tadi melantunkan surah An Najm. Entah rasa apa yang ada di hatiku saat ini. Kalau aku boleh mengaku pada diriku sendiri sebenarnya rasa ini telah hinggap di hatiku sejak dua tahun lalu. Langka rasanya pemuda saat ini menahan suatu perasaan selama dua tahun. Di luar sana bahkan sedikit saja rasa ini itu langsung diungkapkan. Namun aku tidak mau terjebak dalam tipu muslihat. Namun aku pun harus jujur. Sejak tiga bulan yang lalu aku tak hentinya memohon pada Sang Pemilik Hati. Aku memohon agar aku bisa menerjemahkan perasaan yang berkecamuk di hatiku agar sesuai dengan yang diinginkan-Nya. Sekali lagi aku harus jujur. Sore ini perasaan yakin kembali muncul. Entah rasa yakin yang keberapa aku pun tak tau. “Apakah ini jawaban atas segala doaku selama ini?”, tanyaku kembali pada diri ini. Entahlah aku pun tidak mengerti. Malam ini aku harus memohon kembali agar diberikan kepastian oleh-Nya agar aku tak salah memahami apa yang ku rasakan saat ini.
***

Pagi ini aku harus berpikir keras agar tidak salah mengambil langkah. Bayangkan unik mungkin apa yang akan ku lakukan. Memendam rasa selama dua tahun dan tak melakukan apa-apa. Jujur berat rasanya selama ini. Inilah puncaknya. Tak kuat lagi aku menahan. Tak ingin ini mengganggu kehidupanku. Tak ingin ini mengganggu segala amanat yang telah dititipkan-Nya. Jangan sampai aku lalai pada kalam-Nya. Inilah yang membuatku semakin bingung apa yang harus ku lakukan. Namun keyakinan ini seperti sudah pada puncaknya.

Sekali lagi  memang sosok itu. Jikalau aku kembali harus jujur pada diriku sendiri sosok itu adalah sosok pejuang. Pejuang sejati. Dia adalah salahsatu mahasiswa yang aktif dalam kepengurusan jamaah masjid kampus. Memang pesonanya tak terlihat sebagaimana sahabat-sahabatnya. Mungkin sahabat-sahabatnya kini dieluh-eluhkan seantero kampus. Apalagi oleh para mahasiswa muslim. Maklum mereka terkenal dengan keshalihahan dan kepintaran mereka dalam akademik. Wajar memang mahasiswa muslim tak jarang membicarakan mereka. Mereka dianggap sebagai sosok idaman. Aku pun tak bisa berbohong bahwa mereka memang sosok idaman. Namun kembali kalau aku boleh jujur pada diriku sendiri. Aku memandang sosok yang berbeda. Sekali lagi aku mengatakan ialah sosok pejuang sejati. Dialah yang tak pernah lelah menjadi pejuang kebaikan. Dialah yang berjuang agar organisasi yang ku pimpin tetap menebar manfaat pada umat tanpa sedikitpun pernah letih. Tidak hanya itu, dialah pemilik kepedulian sejati. Dialah yang tak pernah lelah beramar ma’ruf nahi munkar. Dialah yang rela mengulurkan tangan bahkan mengangkat saudaranya yang hampir terjerumus dalam lubang kemaksiatan. Dialah yang peduli ketika yang lain acuh tak acuh. Dialah yang rela mengorbankan dirinya demi kebaikan bersama. Hebat memang. Tangguh memang. Tegar memang. Sabar memang. Inilah yang semua orang tidak mengetahuinya. Ya begitulah. Dibalik senyum manisnya pada setiap orang dialah pejuang sejati yang tak pernah menunjukkan beratnya beban di kedua pundaknya.

Terhitung tiga bulan sudah aku memohon pada-Nya. Semalam aku pun kembali memohon agar aku tak salah langkah. Tak bisa dibohongi memang. Rasanya keyakinan ini sudah pada puncaknya. Tapi aku tak ingin sedikitpun menyakiti hatinya. Bismillah aku akan bicara padanya. Aku ingin bicara, tetapi keberanian seakan tak mau hadir untuk mengatakan langsung padanya. Aku harus mencari cara untuk mengungkapkan segalanya. Aku tak ingin salah dalam mengambil langkah. Allah lah yang maha memberi petunjuk. Kembali ku memohon padanya.

Syuruq adalah waktu yang mahal. Waktu yang Dia janjikan akan kabulkan setiap doa. Waktu di mana kebanyakan orang sibuk menuju tempat kerja bahkan masih lelap dalam tidur. Benar memang janjinya. “Mungkin aku akan minta tolong pada Husna untuk sampaikan padanya.”, inilah yang ada dalam benakku. Sejenak aku juga teringat pada kisah ummul mukminin Sayyidatina Khadijah radhiyallahu anhaa. Dahulu sebenarnya khadijah yang mendekati baginda Rasulullah SAW terlebih dahulu. Beliaulah yang ingin menikahi Rasulullah SAW. Namun cara yang dilakukan oleh begitu terhormat. Beliau ingin menyampaikan perasaannya. Beliau pun ingin menjaga harga diri. Namun beliau juga tidak ingin menyakiti hati Rasulullah SAW.  Beliau mengutus seseorang untuk bicara pada Nabi untuk memberikan isyarat yang akhirnya Nabi SAW menerimanya. Hal itulah yang ingin ku lakukan. Aku ingin meminta tolong pada Husna untuk memberikan isyarat padanya. Aku ingin memintanya untuk sampaikan apa yang ku rasakan selama ini. Aku siap apapun tanggapannya. Aku pun sadar apalah aku ini dibandingkan dengan sosoknya.

Kebetulan hari ini adalah hari terakhir aku ke kampus. Hari ini ada pertemuan dengan seluruh pengurus jamaah masjid kampus. Kami akan melakukan sedikit evaluasi semua program yang telah dilaksanakan. Sudah dipastikan memang pertemuan ini akan dihadiri oleh Husna dan sosok yang ku maksud. Entah takdir entah kebetulan di saat istirahat pertemuan Husna menghampiriku untuk memberikan usul program untuk setengah tahun ke depan. Kesempatan ini aku gunakan untuk menyampaikan semuanya padanya.
“Aku mau minta tolong boleh Na?”
“Boleh Mi. Biasa aja kali mintanya. Knp emang?”

Aku ceritakan semua yang ku rasakan selama ini. Aku berani meminta bantuan pada Husna karena kami adalah teman yang cukup dekat dalam jamaah masjid. Kami pun satu jurusan. Aku sudah mengenal sifatnya. Dia pun teman dekat Hilwa. Ya inilah sosok perempuan yang membuat perasaanku  sulit ku terjemahkan sendiri.
“Gmn Husna?”
“Kamu yakin Mi? Sudah istikharah?”
“Bismillah... insya allah sudah. Sampaikan saja dengan isyarat. Klo dia tidak merespon maka sampaikan saja sepenuhnya. Gunakan bahasa terbaik yang kau punya. Gunakan bahasa perempuan. Kamu juga mengerti betul bagaimana sifatnya. Aku tidak ingin menyakiti hatinya.”
“Sampaikan dengan bahasaku? Insya allah akan ku sampaikan padanya. Tapi syaratnya kamu percaya padaku ya? Kamu juga harus pasrahkan apapun hasilnya. Semoga ini yang terbaik untukmu.”
“Bismillah. Aku percaya padamu. Sampaikan juga padanya bahwa ada kekuatan besar yang tak akan bisa dikalahkan. Rencana-Nya lah yang terbaik. Takdirnya lah yang lebih besar dari segala rencana terbaik. Aku tak ingin dia kecewa. Apapun tanggapannya semoga dia tetap yakin akan takdir indahnya. Semoga ia menterjemahkan apa yang ku rasakan hanya pada-Nya. Sehingga apapun yang terjadi di masa yang akan datang tidak ada yang merasa kecewa diantara kita.”
“Oke bismillah ya. Kamu berdoa saja. Laksanakan pak boss”
“Halah kamu ini..”

Aku langsung kembali ke majelis untuk melanjutkan pertemuan. Pertemuan ini berkhir tepat 10 menit sebelum adzan zuhur berkumandang.
***

Shalat zuhur ini aku yang maju menjadi imam. Musa kawanku mempersilahkan aku. Seperti biasa selesai shalat para jamaah berdoa bersama. Kali ini aku meminta Musa yang memimpin doa. Setelah itu seperti biasa satu per satu jamaah meninggalkan masjid. Aku kembali menuju tempat andalanku. Ya, selasar kanan masjid. Memang selasar ini lah yang menjadi salahsatu saksi pejuangan dalam menyelesaikan hafalan. Kini aku harus menjaga semua amanat yang diberikan-Nya. Amanat menjaga kalamnya. Hari ini aku hanya membaca setengah juz karena tadi pagi aku telah menyelesaikan semua target. Aku pun mengemas semua barang yang ku bawa hari ini.
“Fahmi sebentar”, terdengar suara Husna memanggilku
“Iya Husna”, aku langsung menghampirinya.
“kau sudah mengatakah padanya? Ah tapi sudahlah...aku pasrah.”
“Alhamdulillah... aku sudah bicara padanya. Dia memberikan tanggapan positif terhadap apa yang kau rasakan selama ini. Bismillah dia menerimamu dengan kedewasaaannya. Jikalau dia boleh jujur sebenarnya dia merasakan hal yang tak jauh berbeda dari apa yang kau rasakan. Diapun yakin akan takdir indahnya. Dia yakin bahwa Allah pemilik rencana terbaik. Allah Maha Tau yang terbaik bagi hamba-Nya. Sekarang jalani semuanya seperti biasa. Jalani semuanya sebagai teman.
“Alhamdulillah tanggapannya sesuai dengan yang ku inginkan. Tenang rasanya. Namun biarkan semuanya mengalir. Semoga Allah berikan yang terbaik.”

Inilah langkah yang akhirnya ku lakukan. Panjang memang rasanya menuju sesuatu yang diinginkan. Sesuatu yang seharusnya menjadi langkah terbaik dan paling benar akan sebuah ungkapan perasaan. Namun setidaknya aku telah mengungkapkan semuanya. Sebuah ungkapan yang bisa mengubah segalanya. Ungkapan yang memberikan kejelasan pada semunya. Ungkapan yang memberikan kejelasan akan rasaku selama ini dan sesuatu yang tak pernah aku tau selama ini. Ungkapan yang ternyata memberikan kejelasan akan perasaannya selama ini. Aku yakin ini yang terbaik dari-Nya. Jalani semuanya seperti biasa. Janganlah ini mengganggu semua jalan indah menuju kesuksesan. Pasrahkan semuanya pada Sang Pemilik Hati yang Maha Rahman dan Rahiim. Semoga kelak takdir indah-Nya tidak hanya mengizinkanku menitipkan cintaku padanya. Namun membawaku untuk bisa memberikan hatiku sepenuhnya. Seutuhnya. Namun jika rencanya lebih indah biarlah hatiku ini dititipi cintanya yang bergitu indah. Cintanya yang begitu sejuk. Sebelum ku serahkan cinta yang telah ku jaga selama ini pada sosok yang terbaik. Sosok yang terbaik dari yang baik. Sosok yang jauh lebih baik dariku. Sosok yang lebih dekat pada-Nya. Sosok yang lebih amanat dariku. Sosok yang lebih berilmu dariku. Sosok ya lebih indah pesonanya. Sosok yang jauh lebih pantas untuknya. Hari ini yang bisa ku katakan hanyalah maaf. Maaf atas segala perasaanku yang menodaimu tanpa kau ketahui. Jahat menang diriku ini. Maaf atas segala langkah yang telah ku lakukan. Maaf atas segala ungkapan rasaku membuat hatimu resah bahkan gelisah. Maafkan aku. Maafkan aku orang yang lemah telah menodaimu dikala orang-orang yang jauh lebih pantas memilih diam untuk menjaga perasaanmu. Maaf, maaf, dan maaf. Entah berapa kali kata maaf harus ku katakan. Maafkan aku yang telah menodaimu. Sekali lagi Maafkan aku. Maafkan aku.



*Cerita pendek ini ditulis sebagai sarana menawarkan solusi bagi para sobat muslim dan muslimah yang selama ini berada pada cinta dalam diam. Mungkin ini bukan solusi terbaik. Solusi terbaik adalah solusi yang muncul ketika kita telah bermujahadah memohon pada-Nya. Namun ingatlah dengan kisah Sayyidina Ali r.a dan Sayyidatina Fatimah r.a. Mereka sama-sama berada pada cinta dalam diam. Mereka membiarkan semua hadir sampai indah pada waktunya. Memohonlah pada-Nya sobat. Jangan ambil keputusan secara gegabah. Jangan kedepankan hawa nafsu. Mintalah yang terbaik. Biarkan takdir indah-Nya yang memberi jawaban atas segala. Akhirnya, penulis mohon maaf atas kesoktahuan diri yang begitu lemah ini. Bisa saja selama ini hanyalah bentuk kesoktahuan yang mewajahi ketidaktahuan. Wallahu a’lam.


Surabaya-Jakarta
Kamis, 6 Juli 2017/12 Syawwal 1438 H

Komentar

  1. Wah jazakallah ya gan atas tulisan penuh faedah ni!

    BalasHapus
  2. Wah ... wah... makin matep aja tulisanlu jop... share dong....

    BalasHapus
  3. Ga tau kenapa baca soal 'sok-sokan' itu jadi agak tersindir jop. Hmm...
    tapi mantap akh, lanjutkan

    BalasHapus
  4. Masyaallah Pak UstadzQ. Btw ini nama tokohnya dari cerpenmu ya?

    BalasHapus
  5. Jazakallah, Zhof. Tulisanmu ttg kalamNya sukses nge-jleb... T_T
    Lanjutkan nulis ya, Zhof. Semoga bisa bermanfaat bwt khalayak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini