Hayooo Apa Niatmu? Hati-hati Ya Sobat :)

Sore ini cukup cerah. Aku lelah karena tak terasa satu setengah jam aku berlali mengejar Si Kulit Bundar. “Jop, udah setengah enam nih… udahan yuk!”, teriak sahabatku dari kejauhan. Sedikit ku ceritakan tentang dua sahabatku. Mereka adalah Muhammad Ajrurridha dan Zidnal Mafaz. Mereka adalah sahabat. Ya sahabat sebenarnya. Sahabat sejati. Sahabat yang jika aku ada bersama mereka selalu muncul ghirah (semangat) untuk dekat dengan Al Qur’an. Jika ku pandang wajah mereka yang terpikir adalah fastabiqul khairat. Yapp tak henti-hentiya keinginan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan agar dekat dengan Sang Pencipta. Eh Sobat bukan mereka yang ingin aku ceritakan dalam kisahku sore ini. Mungkin tak cukup menuliskan kisah tentang mereka hanya dalam sebuah catatan kecil. Mungkin dilain waktu akan ku ceritakan. Tunggu ya, hehe.

Segera aku langsung berjalan menuju asrama tempat kami tinggal. Yapp benar. Kami adalah siswa madrasah berasrama. Madrasah yang cukup dipandang ditanah ini. Bahkan tak jarang madrasah kami dieluh-eluhkan karena pencapaian prestasi yang mentereng walau mungkin tak satupun terdapat namaku dalam daftar orang-orang yang ikut andil mengharumkan nama madrasah. Tak terasa 15 menit lagi adzan maghrib dikumandangkan. Bersegera aku bersiap-siap untuk pergi ke masjid.
Aku tiba di masjid tepat ketika kalimat laa ilaaha illallah dikumandangkan. Ya, ini adalah batas terakhir keterlambatan di masjid. Tak apalah yang penting aku tidak telat, hehe. Seperti biasa setelah melakukan shalat kami berdzikir dan berdoa bersama. Oh iya, hari ini tidak ada pelajaran tambahan mengingat lusa adalah waktu kami kembali ke rumah masing-masing. Ya, lusa adalah hari pertama libur semester genap. Setelah berdzikir aku tak pernah meninggalkan kebiasaan bercengkrama di selasar masjid. Inilah tempat andalanku untuk saling menguatkan hafalan bersama dua sahabatku. Banyak perbincangan yang terjadi  di sini. Ada yang berbincang mengenai pencapaian selama satu semester ada pula yang sudah bebicara penjang lebar mengenai rencana liburan. Namun ada satu majelis yang menimbulkan rasa penasaran. Aku pun menyambanginya.

“Eh hafalan dia berapa juz si?”, kata seorang temanku. “Hmm... kayaknya setau gua udah 27 juz deh.”, sahut temanku yang lain. “Wah-wah berat ini”, jawabnya kembali. “klo si C berapa juz?”, tanyanya kembali. “kayaknya 14 juz deh….”, sahutku ikut nimbrung bersama mereka. “wahh bisa lah ini kejar 10 juz”, sahutnya dengan penuh semangat. Kehadiranku sejenak langsung meningkatkan euforia mereka dalam perbincangan ini. Maklum aku adalah sosok yang dianggap pakar dalam masalah ini. Yapp masalah percintaan, hehe. Entah aku pun tak mengerti apa dasar mereka mengecapku seperti itu. Tak terasa sampai dua menit menjelang Isya kami baru selesai berbincang. Tau sobat apa yang kami perbincangkan? Hmm kasih tau gak ya?  Wkwkw. Ya kami memperbincangkan si dia, dia, dan dia. Para perempuan-perempuan yang terkenal dekat dengan Al Qur’an. Ya hafidzoh-hafidzoh yang cukup dipandang di sekolah kami. Kebetulan mereka sepantaran dengan kami. Entah apa maksud mereka memperbincangkan perempuan-perempuan itu. Sekadar perbincangan biasa atau ada maksud lain. Hmm perlu analisis lebih lanjut, wkwk. Kalau aku menggunakan prasangka burukku level paling tinggi tentu sepertinya itu bukan perbincangan biasa. Tapi…. Ah sudahlah….

Kejadian malam itu yang membuatku merenung hari ini. Mondar-mandir dipikiranku mengenai niatku selama ini dekat dengan Al Qur’an. Aku selama ini terus berusaha untuk menghafal Al Qur’an walau mungkin sangat perlahan. Proses panjang yang mulai terlihat hasilnya karena Alhamdulillah pada hari ini aku pernah merasakan indahnya perjuangan menghafal setengah Al Qur’an lebih. Namun pikiranku belum tenang. Aku tak berhenti berpikir apa sebenarnya niatku selama ini. Hari ini aku merenung sambil beristighfar dalam muhasabah pada-Nya. Tiba-tiba rasa suudzanku muncul. Bagaimana jika ada seorang laki-laki yang dapat dikatakan biasa-biasa saja mengincar seorang perempuan yang dekat dengan Al Qur’a ya? Terus bagaimana jika dia dekat dengan Al Qur’an karena hanya ingin dekat dengan perempuan itu? Naudzubillah. Bergegas langsung ku potong pikiran burukku. Namun rasa penasaranku tak henti-hentinya bertambah. Sejenak ku teringat hadits arbain pertama. Ingatkan sobat dengan hadits ini? Kurang lebih seperti ini potongannya

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
“ Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Bukhari-Muslim)

Aku langsung terpikir pada awalan hadits in "innamal a'malu bin niyaat". Dalam hadits itu disebutkan barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya maka ia akan mendapatkan Allah dan Rasulnya. Ini berarti berniatlah dalam melakukan apapun karena Allah dan rasulnya sebagai pelabuhan niat yang tepat. Bergegas aku mencari kutipan tafsir hadits ini. Dalam tafsir hadits ini para ulama mengatakan segala sesuatu yang tidak dilandaskan karena Allah akan sia-sia baik di dunia maupun diakhirat. Dalam hadits itu pun disebutkan barangsiapa yang melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan perempuan niscaya ia akan mendapatkannya begitupun sebaliknya. Apa sudah benar niatku selama ini? Aku hanya bisa berusaha meluruskan niat. Tak berhenti ku memikirkan perumpamaan laki-laki biasa yang ingin mendapatkan perempuan yang dekat dengan dengan Al Qur’an sedangkan ia dekat dengan Al Qur’an hanya untuk mendekat dan mendapatkan perempuan itu.  Klo melihat hadits tersebut secara teks memang Allah akan memberikan apa yang dia inginkan termasuk seorang perempuan karena niat dari amalan yang ia lakukan. Namun logikaku seketika bergerak cepat menolak seakan-akan berteriak “Tidaaakk!!!” sekeras-kerasnya. Salahkah aku mengartikan sebuah hadits dengan logika?

Aku tak pernah mengerti apakah ini salah atau benar. Logikaku bergerak dan menolak hanya karena hati ini merasa kesal melihat Al Qur’an direndahkan. Mengapa tidak? Ketika kalian melihat Al Qur’an hanya digunakan sebagai sarana mendekatkan diri pada seorang perempuan. Aku tak pernah merendahkan sosok perempuannya bahkan aku menganggap perempuan-perempuan penghafal Al Qur’an memiliki derajat yang tinggi dan tidak sepatutnya diperlakukan seperti itu. Namun perbuatan laki-laki itulah yang seakan-akan merendahkan Al Qur’an. Sobat, janganlah dekat dengan Al Quran karena kita ingin dekat padanya tapi dekatlah dengan Al Qur’an karena rasa cinta kita pada Al Qur’an.

Memang panjang jika kita bicara tentang niat. Kita semua tau bahwa niatlah yang menentukan hasil dari suatu amalan. Memang kita bukanlah seorang waliyullah yang ketika mereka beribadah benar-benar karena cinta dan sayangnya pada Sang Khaliq. Ya, kita hanya manusia biasa yang sangat lemah. Aku pun demikian. Begitu lemah iman untuk meniatkan ibadahku benar-benar sempurna karena Allah. Tak jarang terbesit “embel-embel” yang melenceng dari seharusnya. Astaghfirullah…. Namun bagaimana jika “embel-embel” itu seorang perempuan? Seorang perempuan yang berderajat tinggi dihadapan Allah? Hati ini tetap tak rela jika kitab suci ini hanya digunakan untuk hal kacangan seperti itu.

Aku yakin Allah Maha Mengetahui dan Maha Penyayang. “Embel-embel” yang tak seharusnya lambat laun akan dihilangkan-Nya dari hati ini. Ya, inilah sebuah proses panjang untuk merasakan “manisnya amal”. Ingatkah kau sobat ketika pertama kali kalian latihan puasa ramadhan? Mungkin kalian sering mendapat “embel-embel” uang yang jumlahnya hanya 5000 rupiah saja. Namun bandingkan dengan kondisi kalian sekarang. Bertahun-tahun kalian jaga keistiqomahan puasa ramadhan. Kini tak perlu “embel-embel” apapun bahkan tak rela jika kita meninggalkannya walau seharipun. Ini lah yang ku harapkan pada laki-laki yang terbesit dalam hatinya untuk mendekat pada perempuan dengan Al Qur’an. Tak masalah niat awalnya demikan jika kelak mereka bisa merasakan “manisnya amal”. Semoga Allah memberikan “manisnya amal” pada mereka. “Manisnya amal” akan membuat mereka melupakan semua niat yang melenceng dan hanya mengingat kepada siapa mereka seharusnya melabuhkan niat.

Dasar memang aku ini. Heuuhhh. Sikap suudzanku tak berhenti sampai disana. Bagaimana jika laki-laki itu tidak merasakan “manisnya amal”? Logikaku tak hentinya berputar untuk menemukan jawabannya. Tak sedikitpun aku berniat melogikakan sebuah hadits. Sekali lagi aku mengulanngnya bahwa ku lakukan ini hanya Karena kekasalan dalam hati melihat firman Allah direndahkan. Apa iya laki-laki itu akan mendapatkan perempuan penghafal Qur’an sesuai dengan niatnya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits? Apakah semudah itu? Hati dan pikiranku serentak tetap mengatakan “Tidaaaaakkkk!”. Mulailah aku berpikir dengan logikaku yang penuh keterbatasan. “Hmm kayaknya gak bakal deh. Misal laki-laki itu punya niat dengan deket dengan Qur’an bahkan sampe ngafal Qur’an buat dapetin ‘Si Hafidzah (Sebutan untuk perempuan penjaga Al Qur’an)’ walaupun laki-laki itu terus memohon pada Allah untuk didekatkan pada ‘Si Hafidzah’. Apalagi kalau niatnya gak berubah karena Allah. Cuma pengen dapetin ‘Si Hafidzah’. Apa iya ‘Si Hafidzah’ bakalan semudah itu didapetin? Itulah yang ada dalam benakku saat ini. Logika ini tak hentinya bergerak seakan mencari sesuatu yang sangat penting. “kayaknya tetep nggak deh. Emang klo laki-laki itu berdoa ‘Si Hafidzah’ gak berdoa. Logikanya klo laki-laki itu berdoa pasti ‘Si Hafidzah’ berdoa lah. Mungkin doanya lebih sering daripada laki-laki itu. Klo laki-laki itu berdoa supaya dapet ‘Si Hafidzah’ pasti ‘Si Hafidzah juga berdoa supaya suatu saat dia diberikan sosok laki-laki sholeh yang lebih tinggi dari dirinya. Sama-sama penghafal Qur’an bahkan ilmunya lebih tinggi dari ‘Si Hafidzah’. Jadinya gak bakal ketemu deh doa mereka”. Inilah sesuatu yang paling logis yang ada dipikiranku. Menurutku ini adil. Ya, inilah keadilan yang seadil-adilnya klo “Si Hafidzah” lebih berhak mendapatkan laki-laki yang diidam-idamkannya daripada laki-laki yang dekat dengan Al Qur’an hanya untuk mendapatkannya. Sangat-sangat adil selama laki-laki itu belum mengubah niatnya karena Allah SWT. Tak terasa waktu menunjukkan tepat pukul 00.00 yang menandai pergantian hari. Aku harus istirahat karena masih banyak tugas yang harus aku kerjakan. Sebuah renungan malam dengan sejuta manfaat. Renungan yang tak akan bisa kulupakan. Renungan yang senantiasa terbekas dalam hati dan pikiran.

Inilah yang ingin kusampaikan pada kalian sobat, khususnya pada diriku sendiri. “Janganlah dekat dengan Al Quran hanya untuk bisa dekat dan mendapatkan ‘Si Hafidzah’ atau pun ‘Si Hafidz’. Namun dekatlah dengan Al Qur’an karena kecintaan kita pada Al Qur’an. Jika kita dekat dengan Al Quran bukan karena kecintaan pada Al Qur’an yakinlah bahwa niat kita dekat bukan karena Sang Pencipta. Secara tidak langsung kita telah merendahkan Al Quran yang derajatnya selalu mulia sampai kapanpun. Ya Allah jika niat kami sudah lurus maka perkenankanlah tetap lurus sampai kau memanggil kami. Namun jika niat kami belum lurus maka luruskanlah ya Rabb”.  Wallahu a’lam






*Ini adalah sebuah catatan kecil dariku. Ungkapan isi hati akan kecemasanku pada lingkungan sekitar. Cerita ini tidak sepenuhnya sebuah kenyataan. Hanya saja dihiasi dengan beberapa tokoh nyata untuk membantu memahami isi cerita. Maaf jika banyak kesalahan pada tulisanku. Apalagi sampai menyakiti hati kalian sobat. Tak ada sedikitpun niatku untuk menyakiti hati kalian. Aku ingin berbagi dengan kalian. Semoga bermanfaat ya Sobat muslim dan muslimah. Cerita ini diceritakan dari sudut pandang seorang ikhwan. Namun ini berlaku juga ya buat para akhwat yang ingin mendapatkan “Si Hafidz”, hehe        

Jum'at, 23 Juni 2017 / 29 Ramadhan 1438 H 
"The last night of Ramadhan 1438 H"

Komentar

  1. asik..asik.. ustadz keluarga mulai menulis nih...

    BalasHapus
  2. MasyaAllah.....
    Terus lanjutkan menulisnya..."orang akan dikenang karena tulisannya"
    Semoga tulisannya menjadi sarana untuk menebar kebaikan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini