(Serial Kehadiranmu Membawaku Pada-Nya)
#Edisi 2
Biarlah Takdir Indah-Nya yang
Menjawab
“Kring… kriiing… kriiing!”. Suara
dan getaran yang cukup keras terdengar dari atas meja. Jam waker yang seakan menjelma sebagai
malaikat yang membawa api paling panas yang akan membakarku hidup-hidup. Aku
harus segera sadarkan diri dan bangkit dari kasurku. Ku lihat waktu menunjukkan
pukul 03.45 yang mengartikan sekitar 45 menit lagi waktu shubuh akan tiba.
Bersegara aku langsung membersihkan diri dan berwudhu.
Shalat tahajud
adalah ibadah yang penuh dengan keajaiban. Namun hari ini sedikit sekali yang
menyadari akan keajaibannya. Jika diibaratkan doa yang kita panjatkan seakan
dalam sebuah antrian. Mungkin di penjuru yang lain banyak yang memohon seperti
yang kau mohon. Banyak meminta sesuatu yang kau minta. Banyak menyebut sesuatu
yang kau sebut. Entah apa bahkan mungkin saja siapa. Ketika kau memohon
dikegelapan malam dan dalam kesunyian seakan kau tak perlu mengantri untuk kau
sampaikan keinginanmu pada-Nya. Permintaanmu pada-Nya. Apa atau bahkan siapa
yang kau sebut dalam pintamu.
Hari ini
seperti biasa aku menjadikan shalat malam sebagai sarana untuk mengulang
hafalanku. Hari ini giliran juz 17 yang harus ku baca. Dua rakaat pertama dalam
setiap shalat sunnahku adalah yang paling kusukai. Rakaat pertama yang selalu
ku hiasi dengan “Qulillahumma maalikal mulki tu’til mulka man tasyaa’, wa
tanzi’ul mulka mimman tasyaa’, wa tuizzu man tasyaa’, wa tudzillu man tasyaa’,
biyadikal khaiir. Innaka alaa kulli syaiin qadiir”. Ya Allah, Tuhan yang memiliki kekuasaan,
Engkau berikan kekuasaan itu kepada siapa saja yang Engkau kehendaki, dan
Engkau cabut kekuasaan dari siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau
Muliakan siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa saja, yang
Engkau kehendaki, ditangan Engkau (didalam kekuasaan Engkau) segala kebaikan
karena sesungguhnya engkau Maha Kuasa atas Segala sesuatu. Ayat yang tak pernah
bosan ku baca dalam shalat sunnahku. Ayat yang selalu menanamkan keyakinan
bahwa semua hanyalah miliknya dan aku harus menyandarkan diriku pada-Nya.
Rakaat kedua yang selalu ku hiasi dengan lantunan Al Insyirah sebagai bentuk
permohonanku pada-Nya agar Sang Pemilik Jiwa senantiasa mengokohkan pundakku
dan menguatkan punggungku dalam menghadapi segala bentuk ujian.
Shalat hari
ini memang sangat berbeda. Tak terasa wajahku basah dengan linangan air mata
ketika melantunkan ayat yang ku baca tepatnya pada surah Ali Imran dan Al
Insyirah yang ku baca. Yaziidu wa yanqushu. Naik dan turun. Inilah
ungkapan yang menggambarkan keimanan seseorang. Apakah imanku naik dan turun?
Sepertinya bukan sekadar naik dan turun, tetapi keluar dan masuk. Saat aku
bahagia seakan aku lupa pada-Nya. Saat aku terjatuh dan menginginkan sesuatu
baru aku mengingatnya. Seakan seorang anak kecil yang meminta dibelikan sesuatu
pada bapaknya.
Allahumma
innii as’aluka hubbaka, wa hubba man yuhibbuka, wa hubba amalin yuballighunii
ilaa hubbika. Ya Allah aku memohon cinta-Mu, dan cinta mereka yang
mencintai-Mu, serta mencintai segala amalan yang mendekatkan diriku pada cinta-Mu.
Ini adalah doa khusus yang bertahun-tahun ku mohonkan sejak ku mulai beranjak
remaja sampai saat ini. Ku panjatkan doa ini agar aku tak salah melabuhkan
hati. Agar aku selalu melabuhkannya pada-Nya. Tak bisa ku pungkiri dan ku
bohongi bahwa aku juga memohon sosok yang melabuhkan hatinya pada-Nya. Tak
terasa adzan shubuh berkumandang dengan indah. Alunan langgam adzan shubuh yang
khas dan semilir udara pagi yang begitu segar ku hirup seakan memberi senyum
padaku untuk menjalani hari.
***
Setelah mengingat
dan memohon pada-Nya aku langsung kembali ke rumah untuk melanjutkan amalan
dzikir pagi petang dan mengulang sedikit hafalan yang ku punya. Indah memang,
tenang memang, sejuk memang ketika kita melantunkan firmannya dengan sepenuh
hati. Hari ini adalah hari ahad. Ya, hari ini aku libur dari usahaku mencari
hal dunia. Saatnya memanfaatkan waktu luang untuk membuat sesuatu yang
bermanfaat bagi umat. Menulis adalah salahsatu hobiku. Mengisi waktu luang
dengan menulis memang sangat menyenangkan. Seakan-akan aku membagikan apa yang
ku punya pada sesama. Menulis dengan tema bahagia seakan aku tertawa dan
tersenyum bersama mereka. Menulis sesuatu yang merana seakan aku menguatkan
mereka bahwa mereka punya senjata terhebat untuk menghadapi semuanya Ialah Rabb
Sang Pemilik Jiwa. Menulis tak perlu neko-neko ini dan itu. Menulis hanya
membutuhkan mata dan hatimu terbuka dalam menelaah lingkungan sekitar untuk
kemudian membungkusnya dengan kata-kata indah yang menarik agar jauh lebih
bermanfaat. Apa yang kau rasakan pun bisa kau tuliskan.
Seketika telepon
genggamku berbunyi. “Maaf saat ini aku tak bisa katakan sesuatu yang bisa
menjatuhkan harga diriku di hadapanmu. Sekali lagi maaf”. Jarinya telah
bergerak menyentuh kotak-kotak huruf pada layar jauh diseberang sana. Mungkin
baru 10 detik yang lalu ia menyentuh semua kotak itu. Tepat setelah 10 detik
pula semuanya sampai pada perasa yang paling peka dalam diriku. Tak bisa
berkata-kata memang dalam mengungkapkan apa yang ku alami. Aku tak akan pernah
menyalahkan siapun terkecuali diriku seorang. “Aku memang sosok manusia lemah
yang tak punya keistimewaan. Apalagi mengharapkan menghadirkan sebuah kharisma.
Ketaatan yang hanya membungkus kebohongan. Ketaatan yang bahkan bukan hanya
pembungkus, tetapi kebohongan yang nyata. Sok-sokan menjaga kalam-Nya sebagai
pembungkus kebohongan. Ahh tidak sama saja… itupun kebohongan. Berdekatan
dengan orang-orang baik itu pun kebohongan. Kebohongan agar aku dipandang baik.
Kebohongan agar aku dipandang berilmu. Kebohongan agar aku nampak peduli.
Kabohongan agar aku nampak memiliki kharisma. Kebohongan agar aku dihormati.
Ahh semua bohong. Ahh semua hanya tipuan. Memang aku ini bukan apa-apa.”
Umpatan keras dalam hati sambil memikirkan hal-hal aneh yang seharusnya tak
penting untuk ku pikirkan. Tak terasa hampir sepuluh menit aku mengumpat pada
diriku sendiri. Umpatan tidak berharga. Umpatan tak bermakna.
“Astaghfirullahaladzhiim…
astaghfirullah… astaghfirullah….” Istighfar sebanyak-banyaknya ku ucapkan dari
lisan ku ini. Entah ke mana imanku 15 belas menit ke belakang. Tampak tak punya
arah dan tujuan. Aku telah lupa bahwa aku punya Rabb Sang Pemilik Hati. Rabb
yang menjadi tempatku mengadu seakan anak kecil cengeng yang merengek pada ibu
dan ayahnya. Kini aku merenung. Merenung bahwa yang aku alami adalah sebuah
keindahan. Aku mencoba membuka hatiku selebar-lebarnya. Aku mengerti bahwa ini
adalah sebuah anugerah. Rasa sayang Sang Pemilik Hati pada ku dalam keberkahan
pagi ini seakan berkata pada diriku “Fahmi aku sayang padamu. Ku berikan ini
semua karena aku cinta padamu. Aku lah yang melabuhkan cintamu pada hatinya.
Hatinya yang melabuhkan cintanya padaku. Maka jangan takut. Labuhkanlah cintamu
padaku” Inilah yang bisa ku ibaratkan akan kehadiran Rabb Sang Pemilik Hati
pada hati, jiwa, serta seluruh kehidupanku. Tak perlu kaget akan apa yang
terjadi. Yang diperlukan adalah keyakinan yang dihiasi dengan kemurnian dan
kesucian dalam diriku ini.
Wahai engkau
yang di sana percayalah bahwa aku tak pernah menyalahkanmu selama ini.
Percayalah tak pernah aku berniat mempermainkanmu apalagi menyakiti hatimu.
Jikalau aku boleh jujur pada diriku dan hatiku. Engkau adalah sosok terbaik
yang pernah ku kenal dalam hidupku. Jutaan yang menjaga muru’ah. Jutaan yang
mempunyai ilmu. Jutaan yang parasnya cantik jelita. Banyak sosok yang ku
kagumi. Namun hanya kekaguman yang hanya sebatas kagum. Berbeda dengan dirimu.
Percayalah aku berani mengatakan ini padamu karena aku melihat bahwa tak biasa.
Kau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Sesuatu yang membuatmu
paling berharga bagiku. Tak bisa ku ungkapkan saat ini. Biar Allah yang
menyampaikannya padamu. Apapun caranya. Apapun perantaranya.
Terima kasih
karena aku bisa mengenalmu. Terima kasih karena engkau telah memberikan warna.
Terima kasih telah banyak mengingatkanku pada-Nya. Terima kasih engkau telah
mengajarkanku arti kemurnian dan kesucian. Terima kasih engkau telah menjaga
dirimu seutuhnya. Terima kasih engkau telah berusaha untuk tidak
mengecewakanku. Terima kasih engkau telah membuatku merasakan jatuh tersungkur
pagi ini. Ratusan kali, ribuan kali, bahkan jutaan kali aku pernah terjatuh. Namun
inilah yang membuatku merenung dan muhasabah. Terima kasih engkau telah
mengajarkanku untuk bangkit dari jatuh yang membuatku tersungkur. Terima kasih
atas kata-kata indahmu pagi ini yang membuatku belajar.
Satu hal yang
harus kau ketahui bahwa azzamku kuat. Azzam yang terpatri dalam hatiku sejak
aku beranjak remaja. Aku tidak akan pernah mempermainkan hati siapapun. Aku pun
berazzam bahwa aku hanya akan mengungkapkan rasaku sekali seumur hidup. Sekali
hanya untuk satu orang. Aku pun telah melakukannya padamu. Tak perlu khawatir
akan segala hal yang telah terjadi. Berpegang teguhlah pada pendirianmu. Aku
pun berusaha akan menjaga azzam kuatku. Jikalau kelak aku melakukannya pada
orang yang berbeda itu adalah murni salahku. Aku yang mengingkari azzamku
sendiri. Apapun yang telah kau katakan padaku aku tetap menjaga azzamku sampai
kapanpun. Setidaknya apapun yang terjadi aku berusaha berpegang teguh. Aku akan
mengungkapkannya sekali dalam hidupku. Seakan ku telah titipkan sebagian hatiku
padamu. Jagalah, berikanlah, dan kembalikanlah jika memang aku tak pantas untukmu.
Keyakinan
adalah hal yang selalu ku pegang teguh dalam hati ini. Aku yakin apa yang kau sentuh
dengan jemarimu jauh di sana adalah isi hatimu dalam menjaga dirimu. Namun aku
tau kau tak pernah menolak. Mungkin ini bukan waktu yang tepat bagimu. Ku tetap
katakan “Bismillah” akan semua yang telah ku lakukan. Entah benar entah tidak.
Keyakinanku mengatakan ada sejumlah kata-kata yang tidak berani kau ungkapkan
padaku saat ini. Bahwa engkau menerimaku. Simpanlah kata-kata itu sampai indah
pada waktunya menurutmu sehingga kelak aku belajar menghargai. Kelak aku bisa
membuktikan bahwa aku berusaha untuk menjaga azzamku dan aku tidak
mempermainkanmu dengan kata-kata. Jikalau memang takdir indah-Nya berkata lain
maka kembalikan lah hatiku dengan baik. Itu berarti memang aku tak pantas. Aku
memang tak pantas untuk seorang yang berharga. Aku memang tak pantas dengan
seorang bidadari. Aku tak pantas dengan seorang bidadari yang lebih mahal
harganya dari bidadari surga. Tetaplah menjadi bidadari karena dimanapun
bidadari akan tetap menjadi bidadari. Maafkan aku bidadari. Maafkan aku makhluk
lemah yang penuh dosa ini. Maafkan aku. Maafkan.
***
Waktu
menunjukkan pukul enam tepat. Ini adalah waktu syuruq. Salahsatu waktu yang
paling berharga untuk memohon segala keinginan. Aku tidak boleh larut dalam
segala yang telah ku alami. Aku punya tempat untuk kembali merengek dan memohon
petunjuk. Rabb Sang Pemilik Hati yang kelak akan memberikan jawaban terbaik
akan segala hal yang ku mohon. “Allahumma innii as’aluka hubbaka, wa hubba
man yuhibbuka, wa hubba amalin yuballighunii ilaa hubbika. Ya Allah kembali
hamba memohon pada-Mu. Jika dia benar-benar yang terbaik untukku kelak maka
semakin yakinkanlah bahwa dia benar-benar yang terbaik bagiku. Apapun sikapnya
padaku. Apapun yang dikatakannya padaku. Apapun yang terjadi padanya. Apapun
yang terjadi padaku. Maka yakinkanlah. Tetap yakinkanlah padaku. Yakinkanlah.
Yakinkanlah. Yakinkanlah. Kuatkanlah aku dalam menjaga hatiku dan hatinya.
Jadikanlah ia senantiasa menjadi sosok shalehah yang selalu dekat dan ingat
pada-Mu. Anugerahkanlah aku sosoknya jika memang iya yang terbaik untukku atau
sosok sepertinya.” , kembali ku memohon dengan permohonan yang sama sampai
semuanya terbuka. Sampai semuanya terjawab oleh kuasanya dan takdir indah-Nya
kelak.
***
*To be continued
Komentar
Posting Komentar